Dalam menghadapi berbagai permasalahan generasi muda akhir-akhir ini, dua guru besar menyampaikan perhatiannya, yang disampaikan pada Sidang Senat Terbuka Pengukuhan Guru Besar UMS, di Gedung Auditorium Moh. Djazman UMS, Senin (27/11).
Dalam pidato pengukuhan, Prof., Dr., Drs., Sabar Narimo, M.M., M.Pd., Guru Besar ke-44 UMS itu menyoroti berbagai persoalan yang terjadi di sekolah, yang mengambil judul ‘Culturally Responsive Teaching (Crt) dalam Pembelajaran Hasthalaku Sekolah Adipangastuti’.
“Pendidikan memegang peranan penting dalam pembentukan karakter bangsa terutama penanaman dan pembentukan sikap perilaku dan nilai-nilai kepribadian dalam kehidupan kebangsaan dan kebhinekaan,” ujar Prof Sabar Narimo.
Saat ini pendidikan menghadapi tantangan yang berat, di samping berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan teknologi, pendidikan menyangga beban dalam penanaman nilai kepribadian bangsa yang berbasis pada nilai-nilai kebhinekaan.
Dalam pidatonya itu, Sabar Narimo menampilkan adanya data kasus kekerasan fisik atau psikis pada anak dan pelajar masih menjadi masalah utama. Selain itu, siswa melakukan tindakan bunuh diri karena hampir semua sekolah tidak punya tim pencegahan perundungan.
“Demikian juga dalam aspek politik pendidikan dan demokrasi pendidikan, sering terjadi adanya kekerasan, pemaksaan kehendak, ketidakadilan, rendahnya kepedulian dan empati, pelanggaran hak asasi manusia, anti kemapanan dll, yang mengindikasikan kurangnya pemahaman tentang nilai-nilai Pancasila dan kebhinekaan,” tambahnya.
Keberadaan Sekolah Adipangastuti, yang memadukan nilai Hasthalaku dalam praktik pendidikannya, menawarkan wawasan berharga dalam menghadapi tantangan ini. Sekolah berdiri sebagai benteng yang mengedepankan pendidikan karakter melalui nilai-nilai luhur yang terangkum dalam konsep Hasthalaku.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Bidang Psikologi Umum, Prof., Dr., Sri Lestari, S.Psi., M.Si., juga menyampaikan keriuhannya mengenai psikologi dengan mengangkat judul ‘Revitalisasi Keberfungsian Keluarga Melalui Transmisi Nilai Untuk Mewujudkan Generasi yang Sejahtera dan Empatik’.
“Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan kasus di masyarakat yang memilukan hati dan menimbulkan keprihatinan kita mendalam, terkait dengan kekerasan, perundungan, bunuh diri, problem kesehatan mental, dan lain-lainnya,” ungkap Sri Lestari.
Hal tersebut sangat menyangkut terutama pada generasi muda yang masih remaja maupun anak-anak. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2023, terdapat 2.355 kasus kekerasan pada anak. Begitu pula terjadi problem kesehatan mental pada remaja seperti melukai diri, dan Kementerian Kesehatan mendapat laporan kasus bunuh diri sebanyak 826 kasus pada tahun 2022. Jumlah ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya.
“Kasus-kasus ini menunjukkan betapa rapuhnya kondisi psikologis anak-anak bangsa,” tutur Guru Besar UMS ke-46 itu.
Dia menyampaikan, ciri-ciri apabila keluarga berfungsi, akan terwujud kesejahteraan keluarga. Sedangkan keluarga tidak berfungsi, akan mengalami problem psikologis atau kesehatan mental.
Dalam mencapai hal tersebut, dapat dengan mengintegrasikan nilai-nilai. Nilai-nilai yang ditransmisikan oleh keluarga adalah nilai religius dengan menjadikan agama sebagai panduan perilaku, nilai rukun, nilai jujur, dan hormat.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Bambang Setiaji, M.Si menanggapi terkait isu yang terjadi di tengah masyarakat.
“Saya setuju dengan analisis Prof Sabar maupun Prof Lestari mengenai bunuh diri ini terutama di kalangan generasi muda. Yang paling berpengaruh saya kira adalah religiusitas,” tutur Bambang Setiaji.
Menurutnya, anak-anak sangat rawan jika keagamaan ini kurang. Jarang agama ini dilihat sebagai suatu potensi untuk meningkatkan daya tahan anak-anak menghadapi kesulitan-kesulitan. Jika tidak tahan, bunuh dirinya akan naik.