Rekonsiliasi Esensial Doktrin Fikih Kontemporer Muhammadiyah (Catatan Hasil Musyawarah Nasional Tarjih ke 32 di Pekalongan)
Oleh: Dr. Isman., S.H.I., S.H., M.H Dosen Magister Hukum Ekonomi Syariah/ Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah
Musyawarah Nasional Tarjih ke 32 di Pekalongan tanggal 23-25 Februari 2024 memang telah berakhir ditandai dengan lahirnya tiga produk pemikiran fikih kontemporer, yakni kalender hijriah global tunggal, fikih wakaf kontemporer dan manhaj tarjih Muhammadiyah, namun mendiskusikan ketiga produknya untuk memahami corak pengembangan dan orientasi fikih kontemporer Muhammadiyah dalam merespon isu-isu sosial dan keagamaan adalah hal yang tetap menarik dan aktual.
Dalam forum seminar, Euis Nurlaelawati memperkenalkan dua model corak pengembangan fikih kontemporer di dunia Islam saat ini, pertama, model “intra-doctrinal reform”yakni kontekstualisasi fikih yang menekankan pada rujukan pandangan-pandangan hukum para ‘ulama fikih, hal ini lazim dijumpai di negara-negara Muslim seperti Indonesia, Malaysia, dan Mesir. Kedua, model “extra-doctrinal reform”, yakni kontekstualisasi yang merujuk pada pandangan-pandangan di luar apa yang disajikan para ulama fikih, model ini lazim ditemukan pada Turki dan Tunisia.
Dengan menggunakan optik corak pengembangan fikih kontemporer tersebut di atas maka akan memudahkan pemahaman kita menafsirkan corak fikih kontemporer apa sesungguhnya yang ingin ditawarkan oleh Ulama Tarjih Muhammadiyah dalam forum Munas tersebut yang telah berhasil menyepakati tiga putusan, yakni kalender hijriyah global tunggal (KHGT), fikih wakaf dan manhaj tarjih Muhammadiyah.
Kalender Hijriyah Global Tunggal
Keputusan untuk menggunakan KHGT menunjukkan keterbukaan Muhammadiyah terhadap kesepakatan Konferensi Internasional ISESCO sebuah lembaga otoritatif dalam bidang riset dan pengembangan ilmu pengetahuan dari organisasi kerjasama Internasional negara-negara Islam (OKI). Artinya bagi Muhammadiyah dalil-dalil syar’i tentang unifikasi penanggalan hijriyah bukan hanya aspek ibadah mahdhah tetapi tanggung jawab peradaban Islam yang harus diinisiasi dan diakselerasi oleh semua umat Islam di seluruh dunia.
Penggunaan KHGT didasarkan pada dalil-dalil syar’i yang relevan dengan konsep waktu (mawaqit) dan hilal (ahillah) secara koroboratif dalam ayat-ayat Al-Quran dan hadits Nabi saw, dengan maksud untuk menunjukkan antara sains dan nash wajib dipahami menggunakan pendekatan holistik. Karena itu prinsip, syarat, dan parameter (PSP) merujuk pada siklus sinodis bulan sebagai dasar implementasi KHGT serta kesatuan waktu dan kawasan (Ittihad al-Mathali’). Seperti diketahui bahwa kesatuan matlak memandang seluruh kawasan di dunia sebagai kesatuan dalam aspek waktu mencerminkan dukungan Muhammadiyah pada ijma’ (konsensus) penyatuan kalender Islam global dan mendorong agar kriteria yang umumnya digunakan di Asia Tenggara yakni ikhtilaf al-mathali’ demi persatuan selayaknya diubah. Secara koroboratif dapat kita simpulkan bahwa Munas Tarjih lebih menguatkan dalil-dalil syar’i tentang kalender berbasis “monozonal” atau ittihad al-mathali’ daripada dalil-dalil syar’I tentang bizonal “ikhtilaf al-mathali”.
Keputusan menerima Kalender Hijriyah Global Muhammadiyah menunjukkan pendekatan extra-doctrinal reform. Hal ini dibuktikan oleh dua hal yakni KHGT merupakan sebuah pembaruan yang tidak didasarkan secara langsung pada fikih klasik yang berbasis rukyat dan adanya kebutuhan untuk mencari solusi baru di luar kerangka pemikiran tradisional dengan mengedepankan temuan mutakhir dalam bidang astronomi yang paling akurat.
Fikih Wakaf Kontemporer
Forum Munas Tarjih Muhammadiyah juga menyetujui lahirnya fikih wakaf kontemporer dengan adanya wakaf uang dan sejumlah catatan menarik lainnya seperti konsep kekekalan atau keabadian harta wakaf (baqa’/ta’bid) dengan menggunakan teori “ibdal” (penggantian) pada wakaf uang (tunai). Diputuskan pula bahwa kewajiban nazhir (pengelola wakaf) selain memastikan manfaat wakaf diserahkan kepada pihak yang berhak menerimanya (mauquf ‘alaih) juga diputuskan bahwa skema pengelolaan dana pada wakaf tunai terhilirisasi pada instrumen investasi profitabilitas untuk mendukung praktek wakaf mu’abbad.
Berdasarkan sejumlah catatan di atas, maka walaupun forum Munas Tarjih tersebut memperkenalkan konsep-konsep baru seperti wakaf uang dan skema pengelolaan wakaf yang lebih modern, prinsip-prinsip fikih klasik dalam tradisi Islam masih tetap menjadi acuan. Seperti penggunaan teori ibdal atau penggantian dalam mempertahankan kekekalan harta wakaf, yang didasarkan pada prinsip-prinsip fikih yang telah ada sebelumnya. Ini mencerminkan pendekatan intra-doctrinal reform. Artinya walaupun terjadi reinterpretasi dan penyesuaian namun penyesuaian tersebut diinspirasi oleh pandangan-pandangan hukum para fukaha klasik dengan sedikit modifikasi dalam aplikasinya.
Manhaj Tarjih
Sementara itu, terkait putusan munas terkait Manhaj Tarjih maka catatan penting yang dapat dikemukakan adalah coraknya masih menggunakan pendekatan fiqih berorientasi kemaslahatan, lingkungan, dan universalitas (kesemestaan). Sebuah corak fikih kontemporer yang memang memasukkan nilai-nilai kesemestaan sebagai pijakan dasar struktur peristiwa hukum yang melingkupinya.
Artinya cakupan fikih kontemporer menyadari pentingnya mempertimbangkan dampak sosial, lingkungan, dan nilai-nilai universal dalam penetapan hukum-hukum Islam. Muhammadiyah menegaskan pentingnya menciptakan kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan dalam masyarakat, sebagai bagian dari prinsip-prinsip agama. Hal ini menunjukkan kesadaran akan pentingnya aspek sosial dan humanitas dalam praktik keagamaan.
Putusan Manhaj Tarjih Muhammadiyah merupakan tercermin pendekatan intra-doctrinal reform, yakni pengembangan fikih yang terinspirasi berdasarkan pandangan fukaha klasik dan kontemporer. Inspirasi dan terminologi konseptual-operasionalnya pun banyak dimotivasi dari pandangan-pandangan ulama besar seperti Imam Fakhruddin Ar-Razi, Imam Asy-Syatibi, Imam Ibnu Qudamah, Syekh Abdul Wahhab Khallaf, Syekh Ibnu ‘Ashur, Imam Asy-Syaukani, dan Syekh Wahbah Zuhailiy, pendekatan tersebut masih berakar pada kerangka pemikiran fikih klasik. Bahkan terdapat catatan menarik pakar Ushul Fiqih Muhammadiyah yakni Ustadz Al-Yasa’ Abu Bakar bahwa sejumlah referensi kitab ushul fiqih tersebut di atas masih berakar pada tradisi ushul fiqih Asy’ariyah.
Pendekatan “intra-doctrinal reform” tercermin dalam upaya Muhammadiyah untuk mereinterpretasi dan menyesuaikan pandangan-pandangan tradisional dengan kondisi kontemporer, tanpa meninggalkan kerangka pemikiran ushul fikih yang telah mapan. Muhammadiyah tetap berusaha untuk memperbaharui pemikiran fikih dengan berpegang pada fondasi tradisional fikih Islam.
Rekonsiliasi Doktrin Fikih
Secara eksponensial rekonsiliasi dari ketiga produk putusan Munas Tarjih terjadi paling tidak direfleksikan pada empat aspek. Pertama, fikih wakaf kontemporer dan Manhaj Tarjih mencerminkan konsistensi dengan merujuk pada pandangan-pandangan ulama terkemuka seperti Imam Fakhruddin Ar-Razi dan Ibnu Qudamah. Sementara Kalender Hijriyah Global tunggal menjaga konsistensi antara dalil burhani (astronomi) dengan dalil nash (al-Quran dan Sunnah).
Kedua, rekonsialiasi doktrin dicapai dengan mencari titik relevansinya, misalnya pengembangan Manhaj Tarjih yang memasukkan maqashid seperti perlindungan lingkungan dan kesejahteraan sosial.
Ketiga, proses rekonsialisi dilakukan berdasarkan pemilihan sumber-sumber dalil dan metode yang akurat dan teruji validitasnya untuk memastikan bahwa baik sumber hukum fikihnya maupun metode penetapannya memiliki derajat akurasi dan koherensi yang tinggi.
Wallahu A’lam bishawab
Download Tautan PDFhttps://drive.google.com/file/d/1CT0vE7Q3MCpI-saT_H5BU2Yr4OqoUBKr/view?usp=sharing